Senin, 18 April 2011

Seandainya Ibu Kartini masih Hidup...


Wah tidak terasa tanggal 21 April tinggal beberapa hari lagi. Hayooo…pastinya pada tahu donk itu hari apa? Yup, betul banget – hari Kartini. Emang siih, semenjak duduk di bangku sekolah menengah pertama sampai sekarang berada di dunia kerja, euforia hari Kartini tidak begitu terasa. Mungkin karena saya tidak (pernah) lagi secara langsung ikut berpartisipasi dalam acara ini, dan juga sekarang ini kegiatan perayaan memperingati hari Kartini tidaklah semeriah zaman dulu yang diramaikan oleh berbagai lomba baik dari tingkat SD hingga organisasi kewanitaan ibu-ibu, seperti lomba peragaan busana daerah (terutama kebaya), lomba mengarang bertema Ibu Kartini, lomba menyanyi, lomba memasak, dan berbagai lomba seremonial lainnya.
R.A. Kartini
Namun, sebenarnya peringatan hari Kartini mempunyai arti yang jauh lebih luas dan dalam daripada sekedar seharian mengenakan busana daerah ataupun berpartisipasi dalam berbagai macam lomba. Setidaknya, hadirnya hari Kartini setiap tahunnya adalah untuk mengingatkan kaum wanita untuk tidak menyia-nyiakan dan menyalahkaprahkan esensi dari kata 'emansipasi wanita' yang telah diperjuangkan oleh Ibu Kartini sepanjang hidupnya.


Di abad ke-21 ini – seperti halnya yang terjadi pada sebagian besar negara di dunia, apa yang diperjuangkan oleh Ibu Kartini yang dikenal sebagai emansipasi wanita ini boleh dibilang sudah menjadi kenyataan. Kaum wanita telah banyak yang memiliki gelar pendidikan setara dengan kaum pria bahkan ada yang melebihi. Akses pendidikan dibuat dengan mudah dan dibuka selebar-lebarnya untuk kaum wanita. Begitupun halnya dengan pekerjaan. Hampir semua macam lapangan pekerjaan telah ada partisipasi makhluk wanita di dalamnya, walaupun mungkin jumlah pekerja pria lebih dominan dibandingkan pekerja wanita, tapi setidaknya hal ini sudah menjadi tanda bahwa tidak ada yang tidak dapat dilakukan oleh wanita. Banyak wanita yang juga telah menjadi pimpinan usahanya sendiri, bahkan seorang wanita juga pernah memegang puncak pimpinan pemerintahan tertinggi di Indonesia. Banyak wanita Indonesia yang juga telah mengharumkan nama bangsa di kancah internasional. Mudah-mudahan semua kemajuan dan pencapaian yang dilakukan oleh kaum wanita akan membuat Ibu Kartini dapat tersenyum bahagia di alam sana.
Megawati Soekarnoputri
Sri Mulyani Indrawati
Susi Susanti
Christine Hakim
Tapi mungkin Ibu Kartini tersenyum bahagia sekaligus juga merasa miris melihat makna emansipasi wanita Indonesia terkontaminasi oleh emansipasi wanita ala dunia modern. Emansipasi wanita lahir sebagai sebuah kesadaran pribadi mengembangkan kualitas, intelektual, kedewasaan dan karakter. Namun, konsep emansipasi perlu diwaspadai ketika emansipasi berubah menjadi gerakan pembebasan diri yang kebablasan!
Keberhasilan dari perjuangan isu gender dan juga gerakan emansipasi ternyata justru memicu intrik baru dalam proses tatanan sosial-kemasyarakatan. Padahal, ide awal dari isu gender dan gerakan emansipasi lebih mengacu pada bagaimana memberi peran yang sejajar dengan pria, bukannya memicu polemik yang kontradiktif!
Emansipasi wanita yang diidamkan oleh Ibu Kartini adalah emansipasi wanita yang tetap mengingat kodrat yang telah digariskan oleh Tuhan khusus untuk wanita, dimana selain berprofesi sebagai wanita pekerja atau wanita yang berkarir professional, kaum wanita juga mempunyai profesi dan posisi lain sebagai seorang istri untuk seorang laki-laki dan seorang ibu dari anak-anak yang membutuhkan kasih sayang dan bimbingannya. Ibu Kartini yang juga seorang perempuan Jawa tentunya sadar dan menghormati sekali ketentuan Tuhan ini. Ada begitu banyak profesi dan posisi yang dianugrahkan oleh Tuhan kepada kita – kaum  perempuan, menunjukkan bahwa Tuhan sangat sayang dan mengistimewakan kaum wanita sekaligus menaruhkan kepercayaan-Nya yang sangat besar kepada kaum kita.





Sekarang, setelah satu abad lebih Ibu Kartini tiada, emansipasi wanita bukan lagi cita-cita tetapi telah menjadi realita yang sulit dimengerti. Di satu sisi, emansipasi wanita telah melahirkan pendekar-pendekar dalam bidangnya masing-masing yang sungguh membanggakan. Tetapi di sisi lain, akibat terlalu bebasnya pergaulan dan mudahnya arus informasi, justru kaum wanita yang menjadi korbannya. Sungguh ironis, karena keadaan yang semula begitu didamba oleh seorang wanita kini justru menjadi bumerang bagi kaumnya.




Seandainya Ibu Kartini masih hidup, apakah beliau akan bangga dengan keadaan sekarang, atau justru sebaliknya??