Minggu, 03 April 2011

Tilang Elektronik, baik atau buruk?

April 2011 kali ini ada banyak peristiwa berkesan yang terjadi di tanah air, di antaranya kenaikan gaji PNS hingga mencapai 15 %, kenaikan harga bahan bakar jenis pertamax yang cukup membuat leher tercekik, dan pemberlakuan tilang elektronik di ibukota negara. Yang cukup menarik perhatian saya (dan sebagian besar masyarakat, tentunya) adalah pemberlakuan tilang elektronik. (bukan berarti saya tidak tertarik dengan kenaikan gaji PNS ini lhoo yaa… Saya justru malah gembira dan mensyukurinya!)

Electronic Traffic Law Enforcement (E-TLE) alias Sistem Tilang Elektronik ini mulai diberlakukan 1 April 2011 di kawasan lampu lalu lintas Sarinah – Thamrin, Sudirman, Rasuna Said – Kuningan  dan Gatot Soebroto. Kawasan lampu lalu lintas Sarinah ini merupakan titik percontohan pertama sekaligus menjadi pilot project, yang mana bila nantinya dalam uji coba cukup baik, maka tidak menutup kemungkinan akan dilakukan pemasangan pada tiap perempatan di seluruh wilayah Jakarta.
Implementasi E-TLE ini berdasarkan pada Undang-Undang No 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) dan mengacu pada Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transportasi Elektronik, khususnya pasal 5.

Jenis pelanggaran yang ditilang ada tiga, yaitu menerobos lampu merah, melanggar garis stop dan yellow box.
Sanksi yang diberikan untuk ketiga pelanggaran tersebut bisa digabungkan. Artinya, setiap satu pelanggaran tersebut sanksi denda maksimalnya adalah Rp 500 ribu, nah jika digabungkan, sang pelanggar bisa dikenai sanksi Rp 1,5 juta.
Di masing-masing traffic light dipasangi kamera cctv yang dilengkapi dengan sensor. Berikut ini langkah-langkah penerapan E-TLE.
1.  Begitu traffic light menyala merah, sensor akan aktif. Nomor polisi pelanggar lampu merah, stop line, dan yellow box yang terdeteksi sensor akan difoto.
2.  Bila ada nomor polisi yang tidak terbaca, rombongan VIP/VVIP, yang mendapat prioritas, atau pejalan kaki yang terfoto, petugas pengendali akan membatalkan proses tilang.
3.  Nomor polisi kendaraan pelanggar yang terekam kemudian dimasukkan ke dokumen tilang elektronik. Data kendaraan dan identitas pemilik otomatis muncul di dokumen tersebut.
4.  Dokumen tilang yang menyebut besaran denda dicetak lalu diautentifikasi petugas.
5.  Dokumen tilang dikirim ke alamat pelanggar dengan perintah menghadiri pengadilan atau membayar denda melalui bank yang ditunjuk. Bila pelanggar tidak menghadiri pengadilan atau membayar denda, maka akan dibebankan saat pembayaran pajak kendaraan. Atau yang paling apesnya, STNK kendaraan akan disita oleh kantor Samsat.

Sistem ini diterapkan dengan harapan dapat memperketat pengawasan terhadap pelanggaran lalu lintas terutama bagi pengendara yang kerap menerobos lampu merah, dan meminimalisir para pelaku pelanggaran yang suka ‘bermain mata’ dengan petugas di lapangan.
Hhmmm… kayaknya sih terdengar bagus ya, menciptakan kesadaran masyarakat akan pentingnya tertib berlalu-lintas di jalan raya, untuk mengerti bahwa jalan raya adalah milik bersama dan bukan milik buyut-babe-engkong atau apalah namanya itu. Mudah-mudahan ke depannya tidak akan ada lagi oknum-oknum yang menerobos lampu merah seenaknya ataupun menyerobot jalur kendaraan lain.
Cuma yang menjadi pertanyaan saya adalah, sampai kapan akan diujikan seperti ini sementara sosialisasi kepada masyarakat masih minim? Tahu sendiri khan bagaimana kelakuan masyarakat Indonesia (yang ‘katanya’ beradab dan bermartabat) yang masih memiliki tingkat kesadaran yang rendah terhadap hukum, dimana pengennya hukum itu ada justru untuk dilanggar? Misalnya, hari ini lagi asyik berkendara ehh tiba-tiba besok siang ada ‘surat cinta’ berwarna merah muda dari pihak kepolisian lalu lintas yang nongol di depan rumah. Si pelaku langsung mengajak massa satu kelurahan dan menyatroni lokasi kamera cctv, lantas kamera pun diotak-atik, dirusak dan dibobol sebagai bentuk pelampiasan protes dan kekesalan terhadap sanksi yang diterima.
Yang namanya fasilitas umum di tanah air mah tidak pernah bernasib baik, sering menjadi sasaran keisengan dan "wahana bagi warga untuk menyalurkan ekspresi". Lihat saja telepon umum, sudah tinggal sejarah dan jadi monumen saja dimana kabelnya banyak yang diputus, koin receh dalam box diambil paksa, dan dicoret-coret dengan kata-kata yang membuat geli dan gregetan. Lihat juga halte dan jembatan penyeberangan, yang menjadi tempat mangkal orang-orang yang tidak jelas dan beralih fungsi menjadi toilet yang berbau pesing. Lihat pula itu jembatan Suramadu yang menghubungkan pulau Jawa dengan pulau Madura. Awalnya masyarakat luas menyambut baik pembangunan jembatan tersebut, tapi lihat saja masih dalam hitungan beberapa hari beroperasi, sudah ada yang maling baut di konstruksi jembatan. Ah, masih banyak deh pokoknya fasilitas umum lainnya yang bernasib mengenaskan.

Apalagi kamera cctv untuk tilang elektronik itu khan cukup mahal dan memiliki resolusi yang cukup tajam hingga mampu menangkap nomor polisi kendaraan segala. Saya kuatir nantinya kamera itu akan ‘diambil paksa’ dan disalahgunakan oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab (terinspirasi dari film-film sci-fi di televisi berbayar!)

Apapun itu, mari kita sambut baik niat pemerintah dalam rangka menciptakan lalu lintas yang tertib dan nyaman. Syukur-syukur ke depannya kota-kota besar lainnya di Indonesia juga akan menerapkan hal yang sama, tanpa terkecuali.