Minggu, 24 April 2011

Sepucuk Surat kepada Presiden


Dear Mr. President, come take a walk with me
(Take a walk with me)
Let's pretend we're just two people and you're not better than me
I'd like to ask you some questions if we can speak honestly


Selamat malam Bapak Presiden Pemimpin Bangsa,
Saya menulis surat ini saat mendengar dan membaca berita di berbagai media bahwa Bapak terkena penyakit stroke. Saya mengharapkan, semoga sakit Bapak tidak berkepanjangan yang dapat menghambat kinerja Bapak dalam memimpin bangsa ini.

Saya juga mengharapkan semoga juga surat ini tidak mengganggu tidur lelap Bapak, semoga selimut mewahmu selalu menghangatkanmu dari dinginnya malam, semoga alunan musik klasik dalam kamarmu tidak mengganggumu dari jeritan dan pekikan rakyatmu yang kelaparan.
Terlalu lancang rasanya apabila rakyat jelata seperti saya datang tengah malam, mengetuk pintu istanamu yang megah, mengganggu tidurmu dan hanya ingin berbincang, membicarakan kegelisahan ini. Dengan segala kerendahan hati, saya mencoba untuk mencurahkannya melalui selembar surat kotor ini.

What do you feel when you see all the homeless on the street?
Who do you pray for at night before you go to sleep?
What do you feel when you look in the mirror? Are you proud?

Percayalah di balik tidur lelapmu Bapak, ada sebagian dari rakyatmu yang tidak bisa tidur. Sebagian dari kami terjaga karena tidak memiliki alas untuk sekedar merebahkan badan yang lelah karena seharian berpeluh di bawah terik matahari demi sesuap nasi.
Sebagian terlalu takut dan gelisah menghadapi hari esok, karena berbagai aksi teror dan kekerasan oleh beberapa oknum yang menganggap diri mereka lebih baik dibanding kalangan tertentu. Sebagian terlalu takut menghadapi segala kebijakan dan keputusan yang diambil di masa kekuasaanmu. Tidak berani menebak-nebak…

How do you sleep while the rest of us cry?
How do you dream when a mother has no chance to say goodbye?
How do you walk with your head held high?
Can you even look me in the eye? And tell me why?

Tahukah Bapak Presiden, ‘kejutan-kejutan’ yang sudah kau berikan kemarin dan sebelumnya, sungguh menghancurkan segala harapan, menyayat hati, membungkam senyum-senyum kecil rakyatmu yang semestinya kau cintai dank au lindungi, melebarkan tangis duka anak-anak bangsa yang tak bergizi, melukai ibu pertiwi.
Entah kejutan-kejutan apalagi yang akan Bapak berikan kepada kami esok hari – apakah racun yang kau berikan untuk anak-anak dan bayi-bayi kami sehingga kurang gizi? Apakah harga pangan yang akan terus kau naikkan, mengimpor bahan pangan di tengah-tengah julukan negeri lumbung padi? Apakah BBM yang akan kau tiadakan, sementara kilang minyak bertebaran di berbagai pelosok negeri? Apakah ketidakadilan hukum yang kau pamerkan? Ataukah teror yang akan kau hidangkan untuk kami esok pagi? Atau… entah apalagi kado istimewa yang akan kau suguhkan untuk kami, tentunya sangat mengejutkan bukan?

Dear Mr.President, were you a lonely boy?
(Were you a lonely boy?)
Are you a lonely boy?
(Are you a lonely boy?)
How can you say, no child is left behind?
We're not dumb and we're not blind
(We're not blind)
They're all sitting in your cells while you pave the road to hell

Bapak Presiden yang terhormat, mungkin musik indah pengantar tidurmu terlalu syahdu dan mendayu-dayu sehingga kau benar-benar tidak mendengar pekikan dan jeritan kami. Tapi, saya yakin bahwa Presiden kami bukanlah pemimpin yang tuli dan buta, apalagi tidak punya hati nurani. Kau tidak hidup sendirian di negara ini. Ada dua ratus tiga puluh juta rakyat yang tinggal bersama dengan Bapak di bumi pertiwi ini, dua ratus tiga puluh juta jiwa yang mencari hidup dan penghidupan di negeri yang tanahnya sudah kami injak puluhan tahun, yang udaranya kami hirup setiap hari, yang hasil buminya memberi makan mulut-mulut kami.


Dengan penuh kerendahan hati dan tanpa merngurangi rasa hormat, saya minta kepada Bapak, tolong perhatikan nasib kami. Masih banyak rakyat yang Bapak pimpin tidak bisa menikmati pendidikan, masih banyak rakyat yang kelaparan, masih banyak rakyat yang sakit-sakitan, masih banyak rakyat yang pengangguran, masih banyak rakyat yang hidup dalam kesusahan. Susah payah hanya sekedar untuk makan, sekedar untuk mendapat pendidikan, sekedar untuk mendapat fasilitas kesehatan, sekedar untuk mendapat air bersih, sekedar untuk mendapat bahan bakar murah, sekedar untuk mendapat tempat tinggal yang memadai.

What kind of father would take his own daughter's rights away?
And what kind of father might hate his own daughter if she were gay?
I can only imagine what the first lady has to say
You've come a long way from whiskey and cocaine

Bapak, saya tak mengerti tentang hukum dan politik, pun saya tak ingin tahu banyak tentang keduanya. Saya warga negara biasa yang sudah cukup puas dengan kehidupan yang layak dan pekerjaan yang baik. Hukum dan politik bukan bidang kami, dan barangkali kami memang tak perlu memahaminya, karena seperti yang sering dibilang orang, hukum dan politik itu klise, bisa dibeli dengan uang dan kekuasaan! Namun, kali ini, izinkan kami bersuara.

Prihatin tak lagi cukup, Bapak. Beragam janji dan instruksi tidak lagi mampu membungkam mulut kami, karena kami sudah kenyang dengan janji. Kami lelah menunggu tanpa daya. Kami letih menonton tanpa bisa berbuat apa-apa.



How do you sleep while the rest of us cry?
How do you dream when a mother has no chance to say goodbye?
How do you walk with your head held high?
Can you even look me in the eye?

Nyanyian dari bibirmu sudah cukup kami dengarkan, Bapak. Kini kami menanti sesuatu yang lain. Kami tak minta banyak, Bapak. Kami hanya ingin orang yang kami pilih mampu menyediakan keamanan bagi kami. Kami ingin bisa beribadah dengan damai. Kami ingin bisa melalui jalan-jalan kota dengan tenteram. Kami ingin menikmati film dan pergi ke tempat-tempat hiburan dengan leluasa. Kami ingin bebas dari rasa takut dan teror.

Kami ingin pajak yang kami bayarkan digunakan untuk sebaik-baiknya kepentingan rakyat dan pembangunan negara, karena sekalipun kami hidup berkecukupan, jutaan penduduk Indonesia di lain pelosok masih belum menikmati kehidupan dan penghidupan yang layak. Sudah cukup kami merasa pedih melihat uang hasil jerih payah kami digunakan untuk plesiran anggota dewan yang terhormat yang notabene seringkali tidur, membolos bahkan mempertontonkan moral yang bejat saat sidang atas nama rakyat, sementara jutaan rakyat miskin mengais sampah dan makan nasi yang sudah basi setiap hari.

Kami ingin korupsi dan segala praktek tikus berdasi dihapuskan dari muka negeri ini. Kami jijik dengan tingkah laku para pengusa di gedung sirkus Senayan yang tampak alim dan berwibawa namun tak lebih dari seekor lintah penghisap darah dan serigala berbulu domba. Kami malu akan ‘prestasi’ yang diraih sebagai negara dengan tingkat korupsi yang sangat tinggi.

Kami muak dengan kekerasan. Kami muak dengan aksi semena-mena. Kami muak melihat nama Tuhan digadaikan demi hawa nafsu segelintir orang tertentu. Kami sudah lelah mencaci dan menangis.

Let me tell you 'bout hard work
Minimum wage with a baby on the way
Let me tell you 'bout hard work
Rebuilding your house after the bombs took them away

Let me tell you 'bout hard work
Building a bed out of a cardboard box
Let me tell you 'bout hard work, hard work, hard work
You don't know nothin' 'bout hard work, hard work, hard work


Saya bukanlah siapa-siapa di negeri ini.Saya hanya seorang perenung dan pengkhayal, yang berandai-andai dan bermimpi agar presiden kami paham tentang makna perjuangan, tentang penderitaan, juga tentang tekad, kerja keras dan sebuah cita cita.

How do you sleep at night?
How do you walk with your head held high?
Dear Mr. President, you'd never take a walk with me, would you?

Bapak Presiden, kami tak minta banyak, sungguh… Tolong dengarkan kami. Bergegaslah, lakukan sesuatu. Bertindaklah agar kami tahu orang yang kami pilih memang layak mengemban kepercayaan kami.
Penderitaan tak butuh retorika juga citra, sebab kelaparan tak butuh janji saat kampanye.
Bapak Presiden, bergegaslahjangan lagi menonton penderitaan rakyat lewat televisi. Terjun langsung dan lihat sendiri, tanpa harus membawa awak media dan para politisi.


Tertanda,

Rakyatmu yg Jelata